Prof Yohanes Surya: Problem Akut Sistem Pembelajaran di Indonesia
Metode Tepat, Anak Kita Hebat-Hebat

“Wemi, 17 + 5 berapa?” Pertanyaan ini  saya ajukan kepada seorang siswa kelas V di suatu sekolah dasar di  Kabupaten Tolikara, Papua. Wemi menggambar 17 garis-garis kecil dan 5  garis-garis kecil. Kemudian dia menghitung banyaknya garis itu satu per  satu hingga dia dapatkan hasil 22.
Wemi termasuk salah satu anak yang cukup  baik. Anak yang lain bahkan tidak bisa menghitung penjumlahan sama  sekali, apalagi perkalian dan pembagian.
Saya sempat bertanya kepada kepala  sekolah, kenapa anak-anak bisa jadi seperti ini? Kepala sekolah  menjawab, “Kualitas guru di sini sangat rendah dan muridnya memang tidak  berbakat matematika.”
“Lalu apa kriteria anak ini naik kelas?”  tanya saya lebih lanjut. “Tidak ada! Semua anak dinaikkan. Kalau tidak  naik kelas, orang tua akan datang bawa parang dan tombak,” lanjutnya.  Orang tua di sana merindukan anak-anaknya pintar. Itu sebabnya, mereka  menyuruh anaknya bersekolah. Jika anak mereka tidak lulus, mereka anggap  sekolah tidak mengajar dengan baik. Wajar saja kalau mereka menuntut  kenaikan kelas dengan parang dan tombak.
Selama 2008/2009, saya dengan tim dari  Surya Institute berkeliling ke kota-kota dan kabupaten di Indonesia,  dari Aceh hingga Papua. Kami melatih ratusan, bahkan ribuan, guru IPA  dan matematika. Selama pelatihan ini kami menemukan bahwa faktor utama  siswa sulit belajar matematika dan IPA ini adalah metode pembelajaran  yang kurang tepat dan kualitas guru, bukan keadaan/potensi siswa.
Potensi Siswa
Secara rata-rata, kemampuan siswa  Indonesia dalam belajar matematika atau IPA (fisika) sangat baik.  Anak-anak Indonesia tidak bodoh. Kalau mereka mendapat kesempatan,  mereka akan berprestasi luar biasa.
Sekitar pertengahan 2009 kami membawa 5  anak dari Kabupaten Tolikara dan 5 anak dari Wamena ke Surya Institute  di Tangerang. Tolikara dan Wamena adalah daerah pegunungan di Papua yang  selama ini dianggap sangat terbelakang. Di Surya Institute para siswa  ini dilatih matematika Gasing (Gampang, asyik, dan menyenangkan) 4 jam  per hari. Selama pelatihan kami melihat bahwa sesungguhnya siswa-siswa  ini sangat cerdas matematika, berlawanan dengan anggapan selama ini yang  menganggap mereka bodoh. Siswa ini juga punya keinginan kuat untuk  maju. Mereka ingin sepintar anak-anak lain dari Pulau Jawa. Mereka juga  sangat rajin belajar.
Fakta itu mengingatkan saya sekitar 15  tahun lalu, waktu saya pulang dari Amerika Serikat. Kala itu teman saya  bertanya, mengapa mau pulang ke Indonesia? Bukankah sudah enak kerja di  pusat fisika nuklir Amerika Serikat. Ketika saya jawab bahwa saya pulang  karena ingin menjadikan Indonesia juara dunia dalam olimpiade fisika,  teman saya ini tertawa. Dia bilang Indonesia tidak akan bisa jadi juara,  anaknya bodoh-bodoh dan malas-malas. Ternyata 5 tahun kemudian, setelah  saya menemukan metode yang tepat, anak-anak Indonesia mulai bermunculan  menjadi juara dalam berbagai lomba tingkat dunia.
Hal itu semakin meyakinkan saya bahwa  kalau kita bisa menemukan metode yang tepat dan guru yang hebat,  anak-anak kita akan menjadi luar biasa.
Kualitas Guru
Selama melatih ribuan guru IPA dan  matematika di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia, kami menemukan  perbedaan kualitas yang cukup mencolok antara guru-guru di kota besar  dan daerah-daerah, terutama daerah tertinggal.
Guru di kota besar, terutama dari  sekolah-sekolah terbaik, sudah cukup baik kualitasnya. Mereka punya  kesempatan dan fasilitas yang baik untuk mengembangkan diri. Sebagian  dari mereka sudah menggunakan komputer dalam proses pembelajarannya.  Bahkan, ada yang mampu membuat perangkat-perangkat lunak pembelajaran.  Mereka hanya kesulitan ketika harus melatih siswa ke tingkat olimpiade.  Mereka butuh pelatihan khusus untuk olimpiade ini.
Untuk guru-guru di daerah, keinginan  majunya sangat kuat. Mereka sadar bahwa mereka kurang. Mereka ingin  memperbaiki diri. Seorang peserta dari Aceh yang kami latih selama 1  bulan di Jakarta mengatakan, “Selama 20 tahun saya mengajar, belum  pernah kami mendapatkan pelatihan seperti ini. Di sini walaupun kami  belajar dari pagi hingga malam hari, kami sangat menikmati. Kami baru  sadar bahwa ternyata kami ini sangat kurang.”
Guru dari daerah lain mengaku bahwa  selama ini dia mengajar sangat monoton. Dia telah membuat pelajaran IPA  yang begitu asyik dan menyenangkan menjadi mata pelajaran yang  membosankan siswa. Guru ini mengaku bahwa selama ini dia tidak  mendapatkan metode yang tepat. Akhirnya yang terjadi adalah siswa bosan  dan mengganggap IPA atau fisika itu sulit.
Masih banyak kisah guru yang mengaku  bahwa mereka selama ini belum mengajar secara Gasing. Mereka bingung  karena selama ini belum banyak mendapat pelatihan yang baik. Jadi,  sebenarnya guru-guru yang ada di Indonesia adalah guru yang baik. Mereka  punya hati, mereka punya keinginan maju. Tetapi, mereka butuh bantuan,  dukungan, dan kesempatan untuk berkembang menjadi lebih baik.

Logo Fisika GASING
What’s Next?
Untuk memperbaiki kualitas pembelajaran  matematika dan IPA di Indonesia, seluruh stakeholder pendidikan,  termasuk pemerintah dan masyarakat, perlu bahu-membahu dalam  meningkatkan kualitas guru. Yang dimaksud kualitas di sini termasuk  kemampuan menguasai konten (guru IPA harus mengerti konsep-konsep IPA  secara benar dan guru matematika mengerti dan mampu mengerjakan  soal-soal matematika dengan benar) dan juga metode pembelajaran yang  Gasing.
Untuk guru-guru di kota besar,  diperlukan sekali pelatihan intensif sampai level olimpiade sehingga  siswa-siswa terbaik kita dapat kesempatan untuk meningkatkan kemampuan  sampai ke level olimpiade. Untuk guru-guru di daerah, terutama di daerah  terpencil, perlu ada pelatihan khusus yang cukup lama (tidak hanya  pelatihan sporadis yang hanya 1-2 hari). Pelatihan 6 bulan hingga 1  tahun ini akan membantu guru-guru ini meng-update konten yang dimiliki  dan memperbaiki metode pembelajaran. Kita berharap ke depan kemampuan  guru-guru di daerah ini mampu menyamai kemampuan guru-guru di kota-kota  besar.
Memang untuk pelatihan yang lama ini  butuh dana cukup besar. Tetapi, dengan dana 20 persen yang dicanangkan  pemerintah untuk pendidikan, hal ini tidaklah sulit dilaksanakan. Saya  percaya jika semua stakeholder pendidikan bekerja bahu-membahu  meningkatkan kualitas pembelajaran matematika dan IPA di Indonesia,  kualitas sumber daya manusia kita akan meningkat secara luar biasa.
Catatan tambahan:
Salah satu aspek yang dikemukan Prof  Yohanes Surya (YS) merupakan salah satu masalah klasik di dunia  pendidikan kita yakni faktor kualitas guru dan sarana serta pra-sarana  daerah yang tidak memadai. Contoh kasus sederhana adalah jauhnya jarak  sekolah dari rumah, sementara tidak ada akses jalan yang memadai menuju  sekolah yang terjadi di Kecamatan Ledo, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan  Barat. Sayangnya, semangat bersekolah anak-anak itu tidak dibarengi  ketersediaan fasilitas belajar yang cukup. Bahkan, banyak sekolah di  pedalaman dan perbatasan di Kalimantan yang kekurangan guru sehingga  siswa belajar seadanya.
Kritk yang disampaikan Prof Yohanes  Surya cukup tepat, karena beliau memiliki pengalaman yang cukup banyak  dalam dunia pendidikan, khususnya pembinaan anak-anak berbakat. Sejak  melatih Tim Olimpiade Fisika Indonesia sejak 1993 dan akhirnya pulang ke  Indonesia, YS berhasil membawa nama besar bangsa Indonesia dibidang  Fisika SMA pada khususnya, dan ilmu eksata ditingkat SD dan SMP melalui  IJSO.
Beliau pendiri Sekolah Tinggi Keguruan  Ilmu Pendidikan Surya, rektor Universitas Multimedia Nusantara. Pendiri  TOFI, peloppr ajang Asian Physic Olympiad, pelopor dari Internasional  Junior School Olympiad, The First Step to Nobel Prize, perintis kelas  Super, motivator para guru dan siswa yang berkeliling di pelosok  nusantara, pencetus GASING, pembina TOFI dan sebagainya.
Salam Nusantaraku,
 sumber: www.kompas.comKlik Untuk DOWNLOAD BahanPelatihan_FisikaGasing.pdf


