komik sebagai media pembelajaran

6. Komik

Shadely (1990:54) mengartikan komik sebagai berikut: Komik berbentuk rangkaian gambar-gambar sedangkan masing-masing dalam kotak yang keseluruhannya merupakan rentetan suatu cerita. Gambar-gambar itu dilengkapi balon-balon ucapan (speak baloons) ada kalanya masih disertai narasi sebagai penjelasan.

Secara garis besar menurut Trimo (1997:37), komik dapat dibedakan menjadi 2 yaitu komik strip (comic strip) dan buku komik (comic book). Komik strip adalah suatu bentuk komik yang terdiri dari beberapa lembar bingkai kolom yang dimuat dalam suatu harian atau majalah, biasanya disambung ceritanya, sedangkan yang dimaksud buku komik adalah komik yang berbentuk buku. Penelitian ini menggunakan bentuk komik strip karena lebih simpel, waktu yang digunakan lebih efektif dan akan lebih cepat dipahami siswa.

a. Kelebihan Komik

Sebagai salah satu media visual komik tentunya memiliki kelebihan tersendiri jika dimanfaatkan dalam kegiatan belajar mengajar. Kelebihan komik dalam kegiatan belajar mengajar menurut Trimo (1997:22), dinyatakan:

1. komik menambah pembendaharaan kata-kata pembacanya

2. mempermudah anak didik menangkap hal-hal atau rumusan yang abstrak

3. dapat mengembangkan minat baca anak dan salah satu bidang studi yang lain

4. seluruh jalan cerita komik pada menuju satu hal yakni kebaikan atau studi yang lain.

b. Modul komik

Jika digabungkan antara modul belajar dan komik maka akan menghasilkan Modul belajar berbentuk komik. Hal ini akan menarik minat siswa untuk membaca modul dan mengerjakan latihan yang terdapat di dalamnya. Pengembangan bahan ajar bebasis komik sangat berpotensi untuk bisa meningkatkan minat belajar siswa (2006,romisatriawahono.net). Dalam hal ini di tuntut kreatifitas guru untuk memodifikasi modul belajar yang biasa terdiri dari materi pelajaran, perintah-perintah pengerjaan latihan atau pun informasi mengenai materi pembelajaran yang tertulis secara sistematis menjadi fleksibel dalam bentuk percakapan bergambar.

Dalam pembuatan modul komik guru menciptakan sendiri komik yang akan disajikan mulai dari tokoh, berikut skenario / isi materi yang akan di sajikan dalam dialog antar tokoh dan dapat pula berisi pertanyaan dari tokoh komik yang harus di jawab oleh siswa. Beberapa variasi modul komik yang menarik dapat dibuat sendiri oleh guru agar siswa dapat belajar kimia dengan senang dan tanpa beban.

c. Peranan Media Komik dalam Pengajaran

Semua media komunikasi merupakan hasil ikatan dari ketidakmampuan berkomunikasi secara langsung, pikiran ke pikiran. Setiap media (istilah ini berasal dari bahasa latin yang berarti tengah) berfungsi sebagai jembatan antara pikiran kita dengan pikiran orang lain. Media mengubah pikiran ke dalam bentuk yang dapat melintasi dunia fisik kemudian diubah kembali oleh satu atau lebih indra ke dalam pikiran. Dalam komik, pesan tersebut berjalan dari pikiran ke tangan ke kertas ke mata ke pikiran.

Nilai edukatif media komik dalam proses belajar mengajar tidak diragukan lagi. Menurut Sudjana dan Rivai (2002:68) menyatakan media komik dalam proses belajar mengajar menciptakan minat para peserta didik, mengefektifkan proses belajar mengajar, dapat meningkatkan minat belajar dan menimbulkan minat apresiasinya. Idealnya, “pesan” si komikus mengalir tanpa terpengaruh apa pun, namun pada kenyataannya sangat jarang terjadi. Hanya ada satu kekuatan yang dapat menembus dindang pemisah semua seniman dari penikmatnya. Kekuatan pemahaman.

Dalam sejarahnya, komik menggunakan kekuatan kartun untuk memerintahkan keterlibatan dan identifikasi pembacanya. Serta realisme untuk menangkap keindahan dan kerumitan dunia nyata. Tarian antara yang nyata maupun tidak menjadi jantung sebuah komik, yang tersusun melalui kekuatan closure. Pencipta dan pembaca merupakan pasangan yang tidak terlihat, menciptakan sesuatu dari yang tidak ada. Komik adalah seni keseimbangan terhebat, seni yang subtraktif sekaligus aditif. Tidak ada yang mengalahkan keseimbangan antara hal yang nyata dan tidak daripada dalam gambar dan kata-kata. (Scott : 2001).

Sebagai media instruksional edukatif, komik mempunyai sifat yang sederhana, jelas, mudah, dan bersifat personal. Komik diterbitkan dalam rangka tujuan komersial, dan edukatif meski tidak semua komik bersifat edukatif.

Komik adalah suatu kartun yang mengungkapkan suatu karakter dan memerankan suatu cerita dalam urutan yang erat, dihubungkan dengan gambar dan dirancang untuk memberikan hiburan kepada para pembaca. Komik adalah suatu bentuk cerita bergambar yang terdiri atas berbagai situasi cerita bersambung, kadang bersifat humor. Perwatakan lain dari komik adalah harus dikenal agar kekuatan medium bisa dihayati.

Komik memusatkan perhatian disekitar rakyat. Cerita-ceritanya mengenai diri pribadi, sehingga pembaca dapat segera mengidentifikasikan dirinya melalui perasaan serta tindakan dari perwatakan-perwatakan tokoh utamanya. Cerita-ceritanya ringkas dan menarik perhattian, dilengkapi dengan aksi, bahkan dalam lembaran surat kabar dan buku-buku komik dibuat lebih hidup serta diolah dengan pemakaian warna-warna utama secara bebas.

Dalam rangka mengorbitkan komik sebagai media instruksional, guru harus menggunakan motivasi potensial dari buku-buku komik, tetapi jangan berhenti hanya sampai di situ saja. Sekali minat telah dibangkitkan, cerita bergambar harus dilengkapi oleh materi bacaan, gambar tetap model (foto), percakapan serta berbagai kegiatan kreatif.

Peranan pokok dari buku komik dalam instruksional adalah kemampuannya dalam menciptakan minat peserta didik. Komik merupakan suatu bentuk bacaan dimana peserta didik membacanya tanpa harus dibujuk. Komik dapat berfungsi sebagai jembatan untuk menumbuhkan minat baca. Guru harus membantu peserta didik menemukan komik yang baik (edukatif0 dan bermanfaat, juga mengajar mereka untuk memilih buku komik yang baik, sehingga kita yakin dapat menerima bacaan komik bagi peserta didik, sesuai dengan taraf berfikirnya. Dipihak lain guru harus menolong mereka menuju cakrawala yang lebih luas akan minat serta apresiaisinya( Ahmat : 1997).

Untuk menujukkan kepada masyarakat bahwa komik Indonesia tidak ’mati’, salah satunya dengan mengupayakan Komik Indonesia Sebagai Media komunikatif Pendidikan. Mengingat komik digemari anak-anak terutama yang duduk dibangku SD, dan SMP, maka cara ini mudah sekali untuk mendekatkan komik Indonesia dengan anak-anak.

53 % responden mengatakan bahwa komik Indonesia bisa menjadi buku pelajaran. Sedangkan 42 % mengatakan tidak bisa dikarenakan kendala birokrasi yang rumit. untuk menjadikan buku pelajaran dalam bentuk komik atau gambar di Indonesia adalah setiap calon buku pelajaran harus diseleksi terlebih dahulu oleh Pusat Perbukuan Depdiknas. Hal ini pernah dialami oleh suatu penerbit.dan komik pendidikan yang ditawarkannya tak lulus karena tim penilainya terdiri dari profesor yang sudah tua-tua , kaku, bahkan tampaknya tidak tahu apa yang dibutuhkan siswa generasi sekarang (Wahono, 2006). Memang membuat komik pendidikan tentunya memerlukan modal yang cukup besar pula, namun sesungguhnya masalah ini bisa saja teratasi jika mendapat dukungan penuh dari Pemerintah.

Ketidakfleksibelan pemerintah, dalam hal ini diwakili oleh Depdiknas, dalam mewujudkan buku pelajaran dalam bentuk komik, yang terbukti di negara lain dapat meningkatkan motivasi belajar dan gerakan cinta membaca, selalu menjadi kendala terbesar. Di Jepang, pemerintah menyadari betul bahwa anak-anak sekolah di negaranya sangat menggemari komik (manga), dan memahami bahwa adanya kecenderungan siswa untuk malas dan letih membaca buku-buku pelajaran yang tebal dan penuh dengan deretan kalimat (Wahono, 2006). Bahkan tidak untuk anak SD atau SMP saja, buku pelajaran dalam bentuk komik dibuat untuk materi-materi yang sangat rumit, seperti perhitungan Matematika dalam bidang Teknologi Informasi. Dengan komik, konsep-konsep yang rumit justru bisa lebih dipahami dengan mudah (Wahono, 2006). Menyoroti pula soal ini, Ia berpendapat bahwa komik dapat menjadi media pembelajaran yang sangat efektif sebagai contoh untuk menjelaskan konsep-konsep yang sangat abstrak dan memerlukan objek yang konkrit pada beberapa mata pelajaran. Misalkan Fisika, Kimia atau Matematika. Atau memberi penggambaran yang konkrit pada masa lalu pada satu kejadian sejarah (Febridani : 2010).

Para peneliti mempercayai bahwa anak-anak memperoleh keuntungan dari penggunaan cerita seperti superman dalam pembelajaran, seperti yang mereka peroleh dari membaca bentuk literatur lain, meskipun beberapa guru dan orang tua menganggap remeh penggunaan komik.

Berdasarkan penelitian tersebut, para kritikus mengatakan membaca komik pada dasarnya merupakan “bentuk bacaan yang tidak berbobot” yang tidak memiliki kompleksitas yang dimiliki buku-buku “non fiksi”.











Gambar 1. Diagram komik Indonesia sebagai media komunikatif dalam pendidikan

Namun ilmuwan dari universitas Illinios mengklaim bahwa kegiatan membaca yang sukses, termasuk membaca komik, membutuhkan kemampuan memahami teks yang lebih baik. Professor Carol Tilley, dari bagian perpustakaan dan informasi sains, menyatakan bahwa komik merupakan bacaan yang bermanfaat bagi anak-anak, yang dibuktikan dengan meningkatnya kosa kata dan minat baca anak setelah membaca komik.

Beliau menyatakan bahwa “kebanyakan kritikus komik dan buku komik berasal dari kalangan orang-orang yang menganggap bahwa anak-anak hanya melihat gambar-gambar pada komik saja, dan mereka (kritikus) tidak menganggap bahwa anak-anak juga memperhatikan kata-kata yang terdapat dalam komik tersebut. Beliau menambahkan: meskipun anak-anak sangat menyukai buku bergambar, mereka juga sangat menyukai teks dalam komik sebagai latihan membacanya. Setiap buku bisa menjadi baik maupun buruk, tergantung pada pribadi dan intelektual si pembaca itu sendiri.secara umum komik hanyalah bentuk bacaan lain dengan gaya yang berbeda. Jika membaca bertujuan untuk memahami berbagai pengetahuan ataupun komprehensif, pembaca mendekatkan teks dengan pemahaman mengenai sosial, bahasa dan budaya.

Dan jika anda memahami bagaiamana kata-kata dan gambar bekerja sama untuk menerangkan sebuah cerita, maka kita akan menyadari betapa kompleksnya cara komik mempengaruhi kita (Richard : 2009).
Previous
Next Post »